Kamis, Desember 25, 2008

Enough is Enough

Saya lelah menulis untuk diterima penerbit. Saya lelah berjuang mengikuti selera pasar demi menjual karya saya. Saya lelah merasa jenuh dan frustrasi di tengah jalan. Saya lelah mengaborsi naskah saya hanya karena merasa tidak percaya diri – bukan karena tulisan saya jelek, tapi karena saya merasa ‘ini-bukan-gue-banget’. Saya lelah merasa seperti ‘pelacur’ yang menggadaikan diri (dan bakat) demi materi dan eksistensi.

Karena itu, dalam rangka memberi hadiah Natal bagi diri sendiri, sekaligus sebagai kompensasi atas absennya resolusi yang biasanya saya canangkan setiap awal tahun, saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ‘lain daripada yang lain’. Saya akan mulai menulis sebuah novel baru. Tapi kali ini, dengan ‘setting’ di kepala yang agak berbeda dari yang sudah-sudah.

Saya menulis untuk saya. Bukan untuk diterima editor. Bukan untuk memuaskan selera orang. Bahkan bukan untuk mengisi rak toko buku. Tidak masalah apakah buku ini nantinya akan diterbitkan atau tidak. Seandainya tidak ada penerbit yang sudi menerima, saya siap jika manuskrip ini tersimpan dalam komputer saya entah sampai kapan -- setidaknya sampai saya punya cukup dana untuk menerbitkannya sendiri kelak. Dan saya tidak peduli apakah buku ini akan laris terjual. Saya tidak peduli apakah ia akan menuai pujian atau cercaan. Karena saya menulis untuk saya.

Menulis jujur itu tai kucing, kata kawan saya.

Saya setuju.

Menulis jujur itu memang tai kucing, kalau tujuan utamanya adalah lolos seleksi editor dan diterbitkan, untuk kemudian dipajang bersama ribuan buku lain di rak berwarna cokelat muda demi sebuah eksistensi, pencapaian, ataupun upah berwujud materi. Itu sebabnya saya menulis bukan untuk diterima penerbit. Karena saya sudah terlalu penat.

Enam bulan. Seratusdelapanpuluh hari.

Itulah waktu yang saya tetapkan untuk menyelesaikan manuskrip ini.

Kenapa enam bulan? Karena sejauh itulah kesanggupan saya, yang dengan jujur saya takar tanpa berniat memberi beban yang terlalu besar pada diri sendiri. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya akan langsung berhenti ‘melacur’. Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya masih butuh eksistensi dan pencapaian, dan enam bulan bukan waktu yang sedikit. Tapi, itu lebih baik daripada tidak berusaha sama sekali. ;-)

Benih ini sudah ada. Di dalam ‘rahim’ saya. Pembuahan sudah terjadi. Dan saya akan merawatnya dengan segenap hati. Menjaga dan membiarkannya tumbuh, sampai ia lahir ke dunia.

Dan jurnal ini, juga Anda semua yang membacanya, akan menjadi saksi hidup. Bahwa menulis jujur itu (mungkin) bukan tai kucing.

:-)

4 komentar:

  1. hehe, maybe i should do this too.
    Menulis (ini outputnya novel ya?) yang sejak awal udah dipublikasikan, untuk mengatasi penyakit nggak menyelesaikan draft yang udah dimulai :D

    seenggaknya kalo ga mood beresin, orang bakal bilang 'Manaa terusannya?'. Kayak gue mosting unfinished crochet project gw, seriously, itu gue 'terdorong' untuk beresin, karena ngerasa udah pamer setengah jadinya.

    Selamat menulis n good luck.

    BalasHapus
  2. Haqi: thank youuu. Wish me luck!

    Okkew: iya, ntar jadinya novel. Gue ngerasa butuh dorongan ekstra berhubung mesin di otak suka macet. Dan ini kayaknya bisa jadi paksaan yang lumayan ampuh buat nyelesein ;-D

    BalasHapus
  3. salam kenal, saya menemukan linknya dari dee-idea. saya juga sering nulis, kebanyakan dilakukan untuk terapi jiwa dan pembebasan diri, kalaupun ada beberapa yang "laku" adalah sebuah nilai tambah tersendiri. Sukses ya..

    salam hangat,
    mays

    BalasHapus