Minggu, Februari 15, 2009

Don't Ask

Please.

I'm outta words.

Really.

Jumat, Januari 16, 2009

One Short Story

God.

Setengah bulan dan belum melanjutkan draft satu lembar pun.

Sepertinya memang sudah waktunya saya diintimidasi. Oleh target sendiri.

I managed to finish one short story, though. Nggak jelek-jelek amat, hitung-hitung latihan nulis.

Jadi, ceritanya, beberapa hari lalu, atas rekomendasi jeung ini, saya nonton film ini. Cuma bisa kasih dua kata sebagai komentar: Sakit jiwa.

Asli, nggak bisa nangis, nggak bisa marah, nggak bisa takut. Saya cuma bisa bengong dan sampai satu jam setelah film selesai jantung masih deg-degan aja gitu.

Film itu saya rekomendasikan untuk siapa saja yang mengaku pencinta film. Jangan ngaku movie freak kalau belum nonton Turtles Can Fly.

Saya tidak tahu apakah film itu juga yang mendorong lahirnya cerpen tersebut. Mungkin saya memang butuh sesuatu untuk menyalurkan ketegangan. Hehehe. Plus, kalau jadi, rencananya cerpen itu akan saya masukkan ke novel yang sedang saya tulis. Tria menjadi bagian dari masa lalu Rama, or something like that. Gambarannya sudah ada di kepala, tapi saya belum seratus persen yakin. Kita lihat nanti ya. ;-)

Entah kenapa, saya suka sekali dengan cerpen ini, padahal bikinnya sekali-jadi, dan ngeditnya juga nggak banyak. I found it dark, bitter, yet profound.

Maaf sebelumnya kalau kalimat ini agak menonjolkan kesan narsis dan (mungkin) belagu, tapi sumpah, setelah baca ulang cerpen ini, saya nggak bisa menahan diri untuk nggak bilang:

“Damn, I’m good.”

;-)

Minggu, Desember 28, 2008

Menulis = Mengenal Diri

Menulis adalah proses mengenal diri sendiri.

Sudah cukup lama saya mempercayai itu, tapi baru sekarang saya betul-betul mengalami pengejawantahannya *alah*.

Writing is enlightening.

Itu yang saya rasakan tadi malam, ketika kembali nongkrong di depan komputer. Setelah lima jam meneruskan menulis draft lama, saya merasa cukup dan mematikan komputer. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seberkas ide muncul, dan saya menuliskannya di handphone. Memasuki sebelas halaman SMS (sekitar 1600 karakter), jempol saya mulai pegal. Kaku dan kesemutan. Akhirnya saya kembali menyalakan komputer.

Tidak banyak yang saya hasilkan, hanya dua setengah halaman A4. Tapi itu dua setengah halaman yang menakjubkan. The feeling was indescribable… and priceless. Saya seperti anak kecil bertemu mainan baru. Bersemangat, kegirangan, dan takjub pada saat yang sama. Boleh dibilang, selama bertahun-tahun menulis, baru kali ini saya merasa begitu ‘hidup’. Saya seperti berjumpa dengan seorang ‘Jenny’ yang lain, yang tak pernah saya sangka ada sebelumnya.

Saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa begitu. Barangkali karena beban ‘harus menulis bagus supaya bisa diterima’ sudah saya buang jauh-jauh. Barangkali karena ekspektasi yang saya longgarkan akhirnya memberi cukup ruang bagi kreativitas untuk berekspresi. Barangkali karena perjalanan saya ‘mengamati dan menyelam ke dalam diri’ mulai membuahkan hasil. Barangkali karena saya tidak lagi takut untuk jujur terhadap diri sendiri. Atau barangkali, karena saya mulai sadar -meski belum sepenuhnya- untuk apa saya menulis.

Untuk mengenal diri. Itulah yang paling pas buat saya, setidaknya untuk saat ini.


UPDATE (22:01):

Old draft: four pages.

New draft: five pages (full chapter).

Five episodes of ‘Friends’.

Not bad at all. Long live Joey Tribbiani!


*yawn*

Sabtu, Desember 27, 2008

Blabbering. Just Blabbering.

Bilangnya nggak peduli mau diterbitkan atau nggak. Kenapa harus pake deadline segala dan ngumumin lewat blog serasa orang penting, Nyeeet?

Okeh.

Alasan terjujur kenapa jurnal ini ada, sebetulnya tidak jauh dari satu kata: MALAS.

Tanpa jurnal, tanpa deadline, tanpa paksaan ekstra… nyaris mustahil novel ini bisa selesai. Karena saya tipikal perempuan yang lebih memprioritaskan bantal dan tempat tidur daripada komputer, dan jauh lebih memilih leyeh-leyeh ketimbang menulis, meski ide sudah berhamburan di otak.

Oh well, I finished two unpublished novels, tapi yang pertama karena ada perjanjian dengan sebuah majalah (dimana tadinya cerita itu diterbitkan sebagai cerbung, sehingga tiap bulan saya harus mengirim satu bab ke mereka – sungguh cara yang efektif!), dan yang kedua karena waktu itu obsesi-jadi-penulis saya sedang menggila. Dua-duanya belum terbit sampai sekarang. Yang satu karena sudah ditolak tiga penerbit (now you know why I hate editors, subjektif sih memang, tapi sutralah ;-D), yang kedua sengaja belum saya submit ke penerbit manapun, karena… well, masih trauma sama yang pertama. Dan masih belum PD juga.

Blabbering... blabbering... blabbering...

Nulis, Jen. Nulis.

Today’s record: zero page, karena mendadak saya teringat pada sebuah draft lama yang baru ditulis tujuhpuluh persen, dan jadi tergerak untuk melanjutkannya karena merasa ‘berhutang’. So I spent five hours working on the draft. Lumayan, lah. Sampai draft itu selesai, saya akan menulis bergantian. Setidaknya, bagaimana pun nasib draft-draft saya kelak, mereka layak mendapatkan dua kata berharga ini: THE END. Penghujung yang sempurna, apa pun hasil akhirnya. Yes, they deserve it.


*BTW, kalau ada editor yang mampir ke sini (atau ada yang punya teman editor)… saya masih punya dua novel yang sudah selesai dan siap terbit. Tertarik? Ihihihihihi.

Jumat, Desember 26, 2008

Bagaimana Menyiasati Writer's Block?

Eleuh. Meuni gaya.

;-)

Cara saya menyiasati writer’s block amatsangat simpel: tidur, meditasi, mendengarkan musik.

Itu thok. Tapi cukup ampuh, setidaknya buat saya.

Ada yang mau nambahin? Tapi tolong dibikin sederhana. Jangan bikin sepuluh pointer dengan keterangan satu paragraf sendiri, itu nyusahin namanya. ;-D

Ta-ta for now

Let Me Introduce: Rama

Sejauh ini, saya cukup yakin menamai karakter utama saya ‘Rama’.

Kenapa harus yakin? Karena saya tidak pintar mencari nama, dan cukup plin-plan dalam hal ini. Saat menggarap novel sebelumnya, saya pernah mengganti nama tokoh utama ketika draft sudah limapuluh persen jadi. That sucks.

Anyway, Rama diambil dari ‘Ramaditya’, seorang blogger, penulis sekaligus composer tunanetra yang saya kagumi. Saya bertemu dengannya tanggal 21 Desember lalu, ketika menemani ibu ini menjadi bintang tamu sebuah acara talkshow di Bogor.

Saya kehilangan kata-kata. Seperti mengalami starstruck rasanya *itu bukan judul film, by the way ;-D*. Haru, kagum, salut, geli, berbaur jadi satu. He’s such an amazing person. Kisah-kisah hidupnya mencengangkan dan sangat menginspirasi. Betul-betul pertemuan yang berkesan dan priceless, meski saya tidak turut serta dalam percakapan dan lebih banyak mendengarkan *tadinya mau minta foto bareng… tapi ummm, mokal. Hehehe. Hope there will be next time.*

Eko Ramaditya, nama lengkapnya (si blogger, bukan karakter saya).
Rama Putra Soemardjono, juga nama lengkap (karakter saya, bukan si blogger).

Detail mengenai karakter dan latar belakang Rama masih rahasia. *Okay, okaaaaay… masih digodok, untuk cari yang paling pas ;-D*

Oh ya, novel ini akan memakai PoV orang pertama.

Wish me luck!

Kamis, Desember 25, 2008

Enough is Enough

Saya lelah menulis untuk diterima penerbit. Saya lelah berjuang mengikuti selera pasar demi menjual karya saya. Saya lelah merasa jenuh dan frustrasi di tengah jalan. Saya lelah mengaborsi naskah saya hanya karena merasa tidak percaya diri – bukan karena tulisan saya jelek, tapi karena saya merasa ‘ini-bukan-gue-banget’. Saya lelah merasa seperti ‘pelacur’ yang menggadaikan diri (dan bakat) demi materi dan eksistensi.

Karena itu, dalam rangka memberi hadiah Natal bagi diri sendiri, sekaligus sebagai kompensasi atas absennya resolusi yang biasanya saya canangkan setiap awal tahun, saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ‘lain daripada yang lain’. Saya akan mulai menulis sebuah novel baru. Tapi kali ini, dengan ‘setting’ di kepala yang agak berbeda dari yang sudah-sudah.

Saya menulis untuk saya. Bukan untuk diterima editor. Bukan untuk memuaskan selera orang. Bahkan bukan untuk mengisi rak toko buku. Tidak masalah apakah buku ini nantinya akan diterbitkan atau tidak. Seandainya tidak ada penerbit yang sudi menerima, saya siap jika manuskrip ini tersimpan dalam komputer saya entah sampai kapan -- setidaknya sampai saya punya cukup dana untuk menerbitkannya sendiri kelak. Dan saya tidak peduli apakah buku ini akan laris terjual. Saya tidak peduli apakah ia akan menuai pujian atau cercaan. Karena saya menulis untuk saya.

Menulis jujur itu tai kucing, kata kawan saya.

Saya setuju.

Menulis jujur itu memang tai kucing, kalau tujuan utamanya adalah lolos seleksi editor dan diterbitkan, untuk kemudian dipajang bersama ribuan buku lain di rak berwarna cokelat muda demi sebuah eksistensi, pencapaian, ataupun upah berwujud materi. Itu sebabnya saya menulis bukan untuk diterima penerbit. Karena saya sudah terlalu penat.

Enam bulan. Seratusdelapanpuluh hari.

Itulah waktu yang saya tetapkan untuk menyelesaikan manuskrip ini.

Kenapa enam bulan? Karena sejauh itulah kesanggupan saya, yang dengan jujur saya takar tanpa berniat memberi beban yang terlalu besar pada diri sendiri. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya akan langsung berhenti ‘melacur’. Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya masih butuh eksistensi dan pencapaian, dan enam bulan bukan waktu yang sedikit. Tapi, itu lebih baik daripada tidak berusaha sama sekali. ;-)

Benih ini sudah ada. Di dalam ‘rahim’ saya. Pembuahan sudah terjadi. Dan saya akan merawatnya dengan segenap hati. Menjaga dan membiarkannya tumbuh, sampai ia lahir ke dunia.

Dan jurnal ini, juga Anda semua yang membacanya, akan menjadi saksi hidup. Bahwa menulis jujur itu (mungkin) bukan tai kucing.

:-)